Cerpen !
Hanya kata maaf..
Hatiku sakit. Aku tak kuasa menahan air mata yang siap membasahi pipiku. Aku tidak menyangka, mereka mengkhianatiku. Kukira selama ini, mereka yang paling mengerti perasaanku. Ternyata mereka tak pernah mengerti perasaanku.
Cowok berkacamata minus itu adalah temanku dari SMP. Dia yang membuatku bangkit dari keterpurukanku karena ditinggal oleh orang tuaku beberapa tahun yang lalu.
Selama itu pula, aku berteman dan mulai menyukainya. Bukan hanya tampan, tetapi sifatnya yang baik, dan perhatian itulah yang membuatku berharap agar suatu saat dia menjadi kekasihku. Dia “Rano”.
Ku ingin tumpahkan rasa sedihku pada Vira, sahabatku. Aku memasuki pekarangan rumahnya sembari berlari berharap dia ada di rumah saat ini. Ku tekan bel rumah Vira. Seorang Ibu mempersilakan aku masuk dan menuju kamar Vira. Dia itu mamanya Vira.
“Apa..?, tidak mungkin,” sahut Vira spontan.
“Aku pun tak habis pikir. Ternyata selama ini mereka sudah berpacaran. Huff…,” sahutku sembari memeluk Vira.
“Udah, semua ini bisa dibicarakan dengan baik-baik.” tambah Vira.
“Tidak. Aku tak mau tahu lagi apa pun tentang mereka, bahkan memaafkannya pun sudah sangat sulit untukku,” ujarku.
Vira hanya terdiam membisu melihat keadaanku. Keadaan dimana aku benar membutuhkan seseorang untuk menumpahkan rasa kecewa ku pada Citra sahabatku, dan Rano.
***
Akhirnya, sampai juga aku di rumah Tanteku, tempat aku tinggal selama sebuah kejadian terjadi dan menewaskan orang tuaku. Ia mengajakku tinggal bersamanya, karena kebetulan dia tinggal sendiri di rumah yang dia beli dari hasil kerja kerasnya. Karena kepindahanku itulah yang membuatku bertemu dengan Rano, anak tetangga Tanteku.
Aku memasuki kamarku dan kemudian membaringkan diri di tempat tidur. Mataku sengaja kupejamkan, agar dapat tertidur dan melupakan semua kejadian hari ini yang benar-benar membuatku shock.
Namun belum sempat aku tertidur, tiba-tiba…..
Hpku berdering. Di layar kaca ponselku tetulis nama Citra dengan sangat jelas. Aku ragu mengangkatnya, akhirnya…
“Halo.”
“Halo! Syifa, aku ada di depan rumah kamu,”
“Maaf,, kamu pulang saja,”
Klik. Hubungan terputus. Rasanya hatiku sangat sesak dengan semua ini.
“Syifa, teman kamu nunggu di luar,” sahut Tanteku dengan suara kerasnya.
“Tante, tolong dong bilangin sama mereka aku lagi sakit. Tidak bisa di ganggu,”jawabku.
Tanpa basa-basi, Tanteku kembali menuju ke ruang tamu dan menemui Citra yang bersama Rano sertanya dan memberitahu mereka bahwa aku tidak ingin menemui mereka dulu. Hmm, ternyata Tanteku mengerti juga kondisi aku saat ini.
***
Pagi itu, aku melihatnya melintas di depan kelasku. Aku memang tak sekelas dengan cowok itu. Ia terlihat tegang, namun tetap tersenyum. Ya. Senyum yang biasa aku lihat. Aku tak tahu senyum itu untuk siapa. Untukku atau Citra?. Huff, terserahlah.
“Fa, aku mau bicara. Sebenarnya..,” Citra yang duduk di blakang bangkuku, maju dan berbicara ke arahku.
“Udahlah. Mana ada sih maling yang mau ngaku?. Dasar, teman makan teman,” belum selesai Ia berbicar dan aku memotongnya dengan kata-kata dan nada yang kasar.
“Huuuuuuu,” seru seluruh penghuni kelasku. Aku hanya tertunduk dan tak ingin menatap mukanya yang kasihan.
“Kenapa sih kamu tega banget. Udah tahu Syifa itu dekat sama Rano, kamu malah ikut cari kesempatan untuk mengambil Rano juga. Sana pergi, tidak ada yang mau mendukung kamu disini,” tambah Vira.
Citra akhirnya kembali ke bangkunya dengan muka pucat. Aku menatapnya sebentar, seakan mencari kejujuran di dalamnya.
Pukul 13.15 pm
Proses belajar mengajar usai. Aku memasukkan seluruh perabotan belajarku hari ini ke dalam tasku, dan beranjak keluar disusul Vira besertaku. Aku memandang sekilas, Rano menghadang jalanku.
“Syifa.”
Aku berdiri hendak meninggalkannya. Tapi ia mencekal tanganku.
“Ayolah, kita perlu bicara. Penting! Harus!”
“Aku harus pulang, ada tugas yang harus kukerjakan,” tolakku, seakan sok jual mahal.
“Fa, please!”dengan mukanya memelas.
Kami pulang berdua, membicarakan semua peristiwa yang terjadi di antara kami. Aku paham. Bukan Citra yang salah, tapi aku yang tidak pernah mengerti dan mencoba memahami perasaan mereka berdua. Aku menyesal.
“Citra udah jelasin semuanya. Aku tahu kita dekat, tetapi tidak lebih. Kamu udah aku anggap adikku sendiri. Jangan rusak hubungan itu karena keinginan kamu yang berlebih,” katanya bijak ke arahku.
Aku tertunduk malu, dan terdiam seraya terus berjalan bersamanya.
***
Sore itu juga aku berjalan menuju rumah Citra. Huff malu rasanya.
“Syifa, masuk yuk!,” ajak mama Citra
“Citra nya ada tante?,” tanyaku dengan wajah sumringah.
“Iya ada, masuk yuk,” sembari mempersilakanku masuk ke dalam rumah.
Aku berjalan perlahan memasuki rumah yang sudah lazim untukku. Biasanya sore-sore gini, kami duduk sambil bercerita pengalaman masing-masing. Hmm, rasanya baru kemarin kami bermain bersama. Sekarang hubungan kami semakin menjauh saja.
“Hai Cit! Apa kabar?,” sapaku
“Syifa..,” komentarnya dengan muka kaget yang di arahkan padaku.
“Aku mau minta maaf. Aku ..,”
“Udah, aku yang minta maaf. Maaf yah.,”Ia memotong pembicaraanku.
“Hmm, jadi skarang kita temenan nih?”
“Bukannya dari dulu kita berteman? . hehe,” sambil tertawa kecil. Ia memeluk erat sambil tersenyum senang mengarah kepadaku.
“hmm, hmm,” Rano datang sembari tersenyum kearah kami berdua.
“Oh ya. Kalian harus traktir aku makan sepuasnya hari ini. Hmm rayain hubungan kalian. Ayolah!! “ ajakku sambil mengedipkan mata kearah Citra, mengganggunya.
“Yuk,, sapa takut!,” ucap Rano.
Semua ini menjadi pelajaran yang amat bermakna untukku dan
membuatku menjadi lebih dewasa. Bahwa, jangan egois dan hanya mementingkan diri
sendiri. Liat keluar dan lihat sekeliling kita. Mereka sebenarnya butuh
pengertian dari kita juga, seperti pengertian memahami dan mengerti perasaan
kedua sahabatku. Rano dan Citra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar